ASTHMA BRONKHIALE
A. Pengertian
Asthma adalah suatu gangguan yang
komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme
(kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asthma adalah gangguan pada jalan nafas
bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M.
Black : 1996).
Asthma adalah penyakit jalan nafas
obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara
hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asthma bronchial adalah suatu penyakit
dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan
dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The
American Thoracic Society).
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor
predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asthma bronkhial.
timbulnya serangan asthma bronkhial.
1.
Faktor predisposisi
·
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2.
Faktor presipitasi
·
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi
menjadi 3 jenis, yaitu :
a.
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b.
Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
c.
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Seperti : perhiasan, logam dan jam
tangan.
·
Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang
dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
·
Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
·
Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
·
Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C. Klasifikasi
Asthma
Berdasarkan penyebabnya, asthma
bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe :
1.
Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang
disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk
bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik
seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2.
Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak
diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik
dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3.
Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asthma ditandai dengan kontraksi
spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab
yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di
udara.
Reaksi yang timbul pada asthma tipe
alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam
jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama
melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan
erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen
maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi
yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat
(yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asthma, diameter bronkiolus lebih
berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan
dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena
bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat
dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik
dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama
serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini
bisa menyebabkan barrel chest.
E. Manifestasi
Klinik
Manifestasi Klinik pada pasien asthma
adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai
dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak
ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas
cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak
otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Ada beberapa tingkatan penderita asma
yaitu :
1.
Tingkat I :
·
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi
paru.
·
Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun
dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2.
Tingkat II :
·
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
·
Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3.
Tingkat III :
·
Tanpa keluhan.
·
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
·
Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah
diserang kembali.
4.
Tingkat IV :
·
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
·
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi
jalan nafas.
5.
Tingkat V :
·
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa
serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan
yang lazim dipakai.
·
Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi
otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih,
takikardi.
F. Pemeriksaan
Penunjang
1.
Pemeriksaan laboratorium.
·
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk
melihat adanya:
ü
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
ü
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan)
dari cabang
bronkus.
bronkus.
ü
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
ü
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
·
Pemeriksaan darah.
ü
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
ü
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
ü
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
ü
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig
E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.
Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya
normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru
yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan
yang didapat adalah sebagai berikut:
·
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
·
Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
·
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada
paru.
·
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
·
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3.
Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi
dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4.
Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
·
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation.
·
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
·
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
5.
Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi
dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh
pada paru-paru.
6.
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma
adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
G. Penatalaksanaan
1.
Pengobatan farmakologik :
·
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam
2 golongan :
a.
Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
Nama obat :
Nama obat :
ü
Orsiprenalin (Alupent)
ü
Fenoterol (berotec)
ü
Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan
simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan semprotan. Yang
berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk
halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan
broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus
diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya
dihirup.
b.
Santin (teofilin)
Nama obat :
ü
Aminofilin (Amicam supp)
ü
Aminofilin (Euphilin Retard)
ü
Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat
golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan
teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan
perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung
bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya
penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat
ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya
dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita karena
sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya
kering).
·
Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi
merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma
alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama obat anti
asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
·
Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma
seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari.
Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
dapat diberika secara oral.
2.
Pengobatan non farmakologik:
·
Memberikan penyuluhan.
·
Menghindari faktor pencetus.
·
Pemberian cairan.
·
Fisiotherapy.
·
Beri O2 bila perlu.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE
A. Pengkajian
1.
Riwayat kesehatan yang lalu:
·
Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru
sebelumnya.
·
Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor
lingkungan.
·
Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2.
Aktivitas
·
Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
·
Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
·
Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3.
Pernapasan
·
Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau
latihan.
·
Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
·
Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
·
Adanya bunyi napas mengi.
·
Adanya batuk berulang.
4.
Sirkulasi
·
Adanya peningkatan tekanan darah.
·
Adanya peningkatan frekuensi jantung.
·
Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
·
Kemerahan atau berkeringat.
5.
Integritas ego
·
Ansietas
·
Ketakutan
·
Peka rangsangan
·
Gelisah
6.
Asupan nutrisi
·
Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
·
Penurunan berat badan karena anoreksia.
7.
Hubungan sosal
·
Keterbatasan mobilitas fisik.
·
Susah bicara atau bicara terbata-bata.
·
Adanya ketergantungan pada orang lain.
8.
Seksualitas
·
Penurunan libido.
B. Diagnosa
Keperawatan Yang Muncul
1.
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi
mukus.
2.
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
3.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
yang tidak adekuat.
C. Intervensi
Diagnosa Keperawatan 1 :
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
·
Sesak berkurang
·
Batuk berkurang
·
Klien dapat mengeluarkan sputum
·
Wheezing berkurang/hilang
·
TTV dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi :
·
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya :
mengi, erekeis, ronkhi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
·
Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan
ekspirasi.
R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
·
Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala
tidak duduk pada sandaran.
R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
·
Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.
·
Berikan air hangat.
R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
·
Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1×1
(inhalasi).
R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.
R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.
Diagnosa Keperawatan 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan : Pola nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
·
Pola nafas efektif
·
Bunyi nafas normal atau bersih
·
TTV dalam batas normal
·
Batuk berkurang
·
Ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
·
Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat
upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
·
Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti
crekels, mengi.
R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
·
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
·
Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
·
Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.
·
Kolaborasi
ü
Berikan oksigen tambahan.
ü
Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
Diagnosa Keperawatan 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
·
Keadaan umum baik
·
Mukosa bibir lembab
·
Nafsu makan baik
·
Tekstur kulit baik
·
Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan
·
Bising usus 6-12 kali/menit
·
Berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
·
Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.
R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.
·
Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
·
Timbang berat badan dan tinggi badan.
R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
·
Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
R/ Air hangat dapat mengurangi mual.
R/ Air hangat dapat mengurangi mual.
·
Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
·
Kolaborasi
ü
Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
ü
Berikan obat sesuai indikasi.
ü
Vitamin B squrb 2×1.
R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
ü
Antiemetik rantis 2×1
R/ untuk menghilangkan mual / muntah.
R/ untuk menghilangkan mual / muntah.
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, K.
(1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.